Minggu, 08 Juli 2012

CONTOH PUISI

Akankah abadi?
Oleh: Ubaidah

Lengkung spektrum
Tak  mampu
Buang gundah yang ada
Menari dalam pikiran
Simpan satu pertanyaan
Akankah abadi?

Andai daya kuraih
Kuberi satu bintang
Bila ada tempat
Kan kuberi
Bahagia hidupku
Beragam abjad dalam stensil
Beragam amorf meliputi opini
Merasuk sukma bagai ekstrusif

Gema angin tiada asa
Ranap jiwa tanpa lara
Memuncak abdi laksana darau
Raungan kalbu
Menyebut deret kata
Akankah abadi?

Tutur indah hiasi memori
Merasuk kulud
Memutar serpihan rasa
Gejolak selimuti relung sanubari
Hanyut pemikiran sertakan logika
Terucap angan dalam diri
Akankah abadi?


Untukmu “Penjahat  Berdasi”
oleh: Dina Mayasari

Hati siapa yang tak tersentak
Meraba dua sisi saling bergejolak
Lemah iman tak dapat dielak
Menjurus,mematikan akhlak
Tak itu emas ataupun perak
Tak itu sedikit ataupun banyak
Materi memperbudak otak
Hingga luap membeludak

Dari yang kecil hingga membudaya
1,2,3 makin beranak merajalela
Mengeruk,menggali rupiah Negara
Tak ingatkah di sana
Pada insan-insan tak berdaya
Harum janji kau ucapkan
Halus pribadi kau tampakkan
Namun ke depan
Kau tarik mulus hasutan setan



Mata indah kau butakan
Hati suci kau bungkamkan
Tangan itu kau rapatkan
Pada kami yang menuai seribu harapan

Teriakku….
Wahai pejabat yang mengatas namakan dirimu wakil rakyat
Tidakkah kau lihat
Di sini kami merintih
Di atas ketidakberdayaan yang mencuat
Di atas keterpurukan yang kian melaknat
Di atas kebohongan yang terus menjerat

Inikah
Ilalang yang tumbuh subur
Dalam kesucian bangsa
Dan kini kesucian itu
Terancam habis dan ternoda
Karena yang berdasi bukan “Pejabat”
Melainkan “Penjahat”

Akhir Senyum Mentari 
                   oleh: Arshinta Minggah Pangesti

Fajar pagi hembus angina suci
Tampak senyum warna mentari pagi
Kian terasa angin yang menyemilir hari
Oh indahnya fatamorgana bumi

Hangat sinar pancar laku insani
Tingkah dosa makin menari-nari
Ucap kata salah arti duri
Serta lidah lunglai berkata mati

Telah lelah mentari temani hari-hari sunyi
Tak terasa tiada senyum pagi
Inikah akhir mentari?
Saat semua menangis, mohon ampuni
Saat semua kembali sujud Illahi

Tiada arti hidup ini
Kala  tergoncang fatamorgana bumi
Tlah raib semua kebahagiaan duniawi
Melanda hidup kembali mati

Hanya kepada Illahi, kuserahkan diri
Ampuni dosa-dosa yang menggores mentari
Ku kembali sujud Illahi
Di akhir senyum indah mentar


                          LEMBAR TERAKHIR BUKU HARIAN
                                                oleh: Arshinta Minggah Pangesti

Hari ini saat kami harus menulis dengan sepenuh hati
Di lembar merah muda halaman 1080
Lembar terakhir buku harian

Jemari ini menahan rasa kami tak rela
Tangan ini tak kuasa membuka lembar ini
Dan hatiku pun meronta-ronta tak bisa susun kata demi kata

Inilah hari kami dengan 1080 makna
Hari yang harus kami lepas semua
Disaat kami telah memperoleh cinta

Cinta dari bapak-ibu guru kami
Cinta dari teman-teman kami
Cinta dari orang-orang terdekat kami
Dan cinta dari seseorang yang sangat berarti

Di kantin sekolah itu, awal perjumpaan
Di perpustakaan itu, ungkapkan perasaan
Di depan kelas itu , mta kita selalu bertatapan
Aku malu, kau pun tesipu
Di sudut sekolah, kau baca sms penuh rindu
Di lapangan upacara, kau selalu lambaikan tangan mu

Kini di halaman terakhir ini
Tertoreh kata kenangan
Tertulis selamat tinggal
Terucap selamat jalan

Untuk guru-guru kami
Untuk teman-teman kami
Untuk orang-orang terdekat kami
Dan untuk cinta pertama ini


Walau berat hati ini
Walau sebenarnya kami tak rela
Walau sebenarnya kami masih ingin bersama
Setelah 1080 hari menitih kisah bersama

Akan adakah guru-guru yang menyambut kita dengan cinta?
Akan adakah teman-teman disana?
Akan adakah orang-orang terdekat disana?

1080 hari telah terlewati
Kini harus kami tutup lembar ini
Dengan dawai rasa dan tetes air mata
Yang akan terus kami simpan di sini
Di dada ini
Di hati ini
Sampai kami tutup usia
Karena selamanya kami tetap cinta...